Alasan saya menganalisis kasus pelecehan seksual pada anak usia 0-18 tahun ini didasari rasa prihatin penulis terkait semakin meningkatnya angka pelecehan seksual yang memakan korban khususnya anak-anak. Dari laporan komnas perlindungan anak, terjadi kurang lebih 2000 kasus pelecehan seksual terhadap anak di Indonesia.
Pelecehan seksual –ekploitasi orang dewasa terhadap anak-anak demi
kepuasan seksual sang orang dewasa– menunjukkan anggka 10 persen, bahkan sangat
memungkinkan angka statistik akan menunjukkan kenaikan angka mulai dari 20, 25,
hingga 30 persen. Pada kenyataannya, bisa mengetahui bahwa angka pelecehan
seksual jauh lebih tinggi dari sekedar 10 persen melalui jumlah orang dewasa
–terutama perempuan– yang mengaku bahwa mereka pernah mengalami pelecehan
seksual di masa kanak-kanak (sekitar 20 hingga 40 persen perempuan dewasa dan
10 laki-laki mengakui bahwa mereka adalah korban dari pelecehan seksual) (Henry A.
Paul, 2008).
Peningkatan angka statistik mulai mennjadi momok
untuk para orang tua akan adanya perasaan cemas dan khawatir terhadap
keselamatan dan perkembangan psiskis setiap anak mereka.
Pelecehan seksual merupakan perilaku pendekatan-pendekatan yang terkait dengan seks yang tidak diinginkan, termasuk permintaan untuk melakukan
seks, dan perilaku lainnya yang secara verbal ataupun fisik merujuk pada seks (Wikipedia,
2013). Pelecehan
seksual –eksploitasi orang dewasa terhadap anak-anak demi kepuasan seksual sang
orang dewasa– ini kerap terjadi pada anak-anak yang kisaran usianya antara 0
sampai 18 tahun.
Pelecehan seksual dapat terjadi dimana saja baik tempat
umum seperti bis, pasar, sekolah, kantor, maupun di tempat pribadi seperti rumah. Terjadninya pelecehan seksual pada anak, terutama yang
terjadi di lingkungan keluarga, umumnya berlangsung tanpa saksi mata.
Bentuk
pelecehan seksual sangatlah beragam, termasuk bentuk-bentuk yang tanpa kontak
fisik dan hanya melibatkan hal-hal yang visual dan verbal (semisal, orang
dewasa yang melotot pada anak-anak yang sedang telanjang, orang dewasa yang
berjalan telanjang di depan anak-anak, atau bahkan hanya sekedar mengeluarkan
pernyataan seksual yang provokatif kepada anak-anak) (Henry A. Paul, 2008).
Secara umum wanita
sering mendapat sorotan sebagai korban pelecehan seksual, namun pelecehan
seksual dapat menimpa siapa saja. Korban pelecehan seksual bisa jadi adalah
laki-laki ataupun perempuan. Korban bisa jadi adalah lawan jenis dari pelaku
pelecehan ataupun berjenis kelamin yang sama. Dan pelaku pelecehan seksual pada
anak umumnya kerabat terdekat korban yang seharusnya memberi perlindungan pada
mereka.
Contoh kasus pelecehan
seksual yang menimpa RI, bocah berusia 11 tahun merupakan kasus paling tragis.
RI meninggal dunia setelah hampir sepekan kritis di RS Persahabatan. Tim Dokter
RSPP menyatakan penyebab maeninggalnya bocah 11 tahun ini akibat radang otak
yang ditandai dengan demam tinggi, kejang dan koma.
Tika Bisono seorang
Psikolog Universitas Indonesia memandang kasus pelecehan seksual oleh orang
terdeka korban adalah penyimpangan
sosial yang bisa jadi disebabkan oleh depresi yang kemudian menyebabkan
rusaknya pola pikir pelaku. Sementara itu seorang Sosiolog dari Universitas
Sumatera Utara, Prof. Badaruddin menyebutkan tindakan pelecehan yang dialami
anak bukan hanya dilakukan para remaja, orang dewasa, tetapi juga kakek-kakek.
Menurut
laporan Komnas Perlindungan Anak, terjadi kurang lebih 2000 kasus pelecehan
seksual terhadap anak di Indonesia Ketua
Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait menyebutkan, tahun 2011
terdapat 2.509 laporan kekerasan 59 persen diantaranya adalah kekerasan
seksual. Di tahun 2012 laporan yang
diterima berjumlah 2.637 laporan, 62 persen di antaranya adalah kekerasan seksual. Sementara pada tahun 2013 ini merupakan tahun
puncak terjadinya kekerasan seksual terhadap anak (Komnas PA : Setahun Lebih 2000 Kasus Pelecehan Seksual anak, 2013). Selama
Januari hingga Februari 2013, Komisi Nasional Perlindungan anak (Komnas PA)
menerima 48 laporan kekerasan seksual pada anak, dari total 80 kasus kekerasan
pada anak (Achmad,
2013).
Demikian
pula laporan komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), kasus pelecehan seksual
terhadap anak terus meningkat dalam beberapa tahun belakangan ini. Apong, wakil
ketua KPAI menyebutkan di beberapa daerah
bahkan ada yang meningkat hingga 30 persen. Menurut data KPAI daerah
sumatera selatan, terdapat 234 kasuus yang dilaporkan di Sumsel sepanjang 2012
yang hampir 80 persen yang hampir 80 persen dari kasus tersebut adalah kasus
kekerasan seksual. Sementara di Nganjuk, Jawa Tengah, berdasarkan data Womens
Crisis Centre sejak bulan Januari hingga September 2012 terdapat 24 kasus
pemerkosaan dan pencabulan yang menimpa anak . “jumlah tersebut naik sekitar 20
persen di banding tahun 2011 lalu. Memasuki tahun 2013 pun, kasus kekerasan
seksual terhadap anak masih kerap terjadi.
. Berdasarkan penyelidikan mengenai penyebab meningkatnya kasus kekerasan
seksual terhadap anak ini dikarenakan karena lalainya tanggung jawab orang tua dalam
melindungi dan terhadap anak-anaknya dan kurangnya pengawasan orang tua. Ketua
Divisi Sosialisasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengatakan bahwa
ada dua faktor penyebab semakin meningkatnya pelecehan seksual pada anak, yaitu
faktor moralitas dan rendahnya internalisasi ajaa agama serta longgarnya
pengawasan dilevel keluarga dan masyarakat yang menyebabkan terjadinya
pelecehan. Dan faktor permisifitas dan abainya masyarakat terhadap potensi
pelecehan seksual.
Pelecehan seksual
terhadap anak-anak jauh lebih sulit didiagnosa ketika pelecehan tersebut
berlangsung, karena dari 20 hingga 35 persen anak-anak yang menjadi korban
tidak menunjukkan gejala-gejala bahwa mereka baru saja mengalami pelecehan. Inilah
yang sangat mengganggu perkembangan psikis anak karena ada banyak anak yang
menyembunyikan pelecehan yang mereka alami; persis[P1]
seperti orang dewasa yang menyembunyikan yang mereka lakukan terhadap anak-anak.
Menyembunyikan pelecehan yang dialami sang anak pada kasus ini disebabkan karena anak merasa
identitas inti dari sang anak sudah demikian hancur sehingga ia merasa tak bisa
sembuh dari trauma tersebut.
Anak-anak
korban pelecehan kerap menunjukkan gejala yang dapat mengganggu perkembangan
psikososialnya, mulai dari kecemasan, depresi, pemisahan diri –karena merasa
malu akan kejadian yang telah menimpanya–, atau ekspresi kemarahan hingga
kemerosotan di bidang sosial, akademik, dan berbagai bidang lain.
Terganggunya
perkembangan psikis anak terutama psikososial disebabkan karena ia merasa
terhina yang dipenuhi rasa bersalah seolah-olah merekalah yang menyebabkan
terjadinya pelecehan tersebut. anak-anak mengalami gangguan akibat pelecehan
seksual yang diterimanya cenderung bergulat dengan depresi yang secara umum
cenderung mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan orang lain, baik itu
orang dewasa maupun dengan teman sebaya mereka, mudah marah, bertindak
kasar. Terkadang depresi ini berujung
pada usaha bunuh diri.
Berbagai penelitian terhadap anak-anak korban
pelecehan seksual menunjukkan bahwa 60 dari 70 persen dari mereka mengembangkan
gangguan psikologis –yang paling umum adalah PTSD atau gangguan paska stress
traumatik– namun juga sangat mungkin akan melibatkan gangguan-gangguan lain
semisal gangguan perilaku, kecemasan, pemisahan diri, depresi. Gangguan
pemisahan diri bisa berwujud dalam bentuk menghindarkan diri dari orang lain,
mati rasa, lamunan akut, fantasi yang berlebihan, serta berbagai keluhan
somatik semisal pingsan dan ketidakberdayaan fisik. Anak-anak yang mengalami
PTSD akibat pelecehan seksual akan menunjukkan kecemasan yang berlebihan,
seringkali mengalami kembali trauma tersebut secara flashback, dan terkadang menghidupkan kembali trauma tersebut
melalui perilaku seksual.
Pendekatan yang dapat dijadikan acuan untuk
melihat dan memahami perilaku anak pada kasus pelecehan seksual ini salah
satunya yaitu dengan menggunakan pendekatan psikoanalisa. Pada pendekatan
psikoanalisa ini lebih menekankan pengaruh kecemasan anak, hasrat (desire),
motivasi dalam pemikiran, perilaku yang tidak disadari, dan perkembangan
sifat-sifat kepribadian serta masalah-masalah psikologi yang tidak tersalurkan(Basuki,
2008).
Disini
peran orang tua lah yang sangat
dibutuhkan dalam menanggapi maupun
memecahkan masalah pelecehan seksual terhadap anak-anak mereka. Langkah
paling penting yang harus dilakukan orang tua dalam menghadapi pelecehan
seksual terhadap anak adalah dengan memastikan terlebih dahulu bahwa sama
sekali tidak ada peluang bagi terjadinya pelecehan tersebut; memberikan
perhatian dan pengawasan terhadap anak. Pengawasan yang dimaksud bukan berarti
mengekang anak untuk mendapatkan hak-hak mereka yang bersifat positif; memberikan pengetahuan yang jelas mengenai sex
umumnya tentang kontak fisik yang tepat dan kontak fisik yang tidak tepat;
melakukan evaluasi fisik dan mental pada anak yang mengalami pelecehan sesegera
mungkin, namun dengan catatan tidak dalam cara yang membuat anak tersebut
menjadi takut. Evaluasi mental ini harus dilakukan oleh ahli terapi, dokter,
perawat, psikolog atau pekerja sosial yang memiliki pengalaman khusus dalam
mengangani anak-anak korban pelecehan seksual, semakin cepat dilakukan terapi
yang tepat, maka akan semakin besar peluang anak tersebut untuk sembuh dari
trauma.
Pendidikan tentang seks telah menjadi momok dalam
kepala masyarakat khususnya para orang tua. Orang tua selalu menutupi dan tidak
memberikan pendidikan seksual sejak dini –seks ditabukan–. Tindakan yang
seperti ini justru memberi peluang terjadinya pelecehan seksual karena anak
sama sekali tidak dibekali pendidikan tentang seks. Akibatnya, pelecehan
seksual dibawah umur banyak dilakukan justru oleh lingkungan terdekatnya
sendiri. Anak-anak perempuan dibawah umur yang tidak diberi pembelajaran
tentang seks dengan mudah ditipu oleh pelaku pelecehan seksual dengan
pembodohan-pembodohan pengetahuan tantang seks (Ayu,
2012).
Selain memberikan pendidikan seksual, para orang tua
juga harus mengajarkan anak-anak mereka untuk mengatakan “Tidak!” atau
“Jangan!” kepada siapa saja yang berusaha menyentuh mereka dalam cara yang
tidak tepat, meskipun orang tersebut adalah orang dewasa karena mereka memiliki
hak untuk mengatakan itu.
Oleh karena itu sangatlah besar artinya bagi anak-anak
ketika mereka mengetahui bahwa tidak ada seorangpun yang berhak menyentuh
mereka dalam cara-cara tertentu, terlepas dari seberapa dewasa, penting dan
berwenangnya orang tersebut (Henry A. Paul, 2008).
DAFTAR PUSTAKA
Ayu, D. M. (2012). Nayla. Jakarta: Percetakan PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Basuki, A. (2008). Psikologi Umum. Jakarta:
Universitas Gunadarma.
Henry A. Paul, M. (2008). Konseling & Psikoterapi
Anak. Yogyakarta: Idea Publishing.
Wikipedia. (2013, Juni 18). Pelecehan Seksual. Dipetik
November 20, 2013, dari Wikipedia Ensiklopedia Bebas:
http://id.wikipedia.org/wiki/Pelecehan_seksual
[P1]Dampak
psikisnya
0 komentar:
Posting Komentar