BELAJAR

| Selasa, 18 November 2014
BELAJAR

Belajar merupakan salah satu proses yang dilakukan manusia sepanjang hidupnya. Belajar adalah usaha yang dilakukan dengan sengaja yang dapat menimbulkan tingkah laku, baik yang nyata maupun tidak tampak. Perubahan yang dihasilkan tersebut bersifat positif dan berlaku dalam waktu yang relatif lama.

Proses yang terjadi pada seseorang megakibatkan perubahan perilaku baik dari segi kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Perubahan perilaku bisa aktual, bisa pula potensial. Potensial berarti perubahannya belum tampak secara nyata, namun akan nampak di waktu lain.

Ada beberapa faktor yang mendukung proses pembelajaran pada seseorang yaitu faktor inter dan eksternal. Dimana faktor ini berfungsi sebagai peninjauan hasil belajar seseorang. Faktor-faktor yang positif akan mendukung hasil belajar yang positif juga. Sebaliknya faktor negatif, akan menyebabkan hasil belajar yang buruk pula.

Belajar adalah usaha yang dilakukan dengan sengaja yang dapat menimbulkan tingkah laku, baik yang nyata maupun tidak tampak. Perubahan yang dihasilkan tersebut bersifat positif dan berlaku dalam waktu yang relatif lama.

Belajar merupakan suatu proses yang megakibatkan perubahan perilaku baik dari segi kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Perubahan perilaku bisa aktual, bisa pula potensial. Potensial berarti perubahannya belum tampak secara nyata, namun akan nampak di waktu lain.
Belajar merupakan salah satu proses yang dilakukan manusia sepanjang hidupnya. Dimana belajar ini merupakan proses membangun makna atau pemahaman terhadap informasi dan atau pengalaman. Proses membangun makna tersebut dapat dilakukan sendiri oleh siswa atau bersama orang lain. Selama proses itu berlangsung semua informasi yang masuk disaring dengan persepsi, pikiran (pengetahuan awal), dan perasaan seseorang. Hal ini dapat dibuktikan, yakni hasil ulangan para siswa berbeda-beda padahal mendapat pengajaran yang sama, dari guru yang sama, dan pada saat yang sama. Mengingat belajar adalah kegiatan aktif siswa, yaitu membangun pemahaman, maka partisipasi guru jangan sampai merebut otoritas aau hak siswa dalam membangun gagasannya.
Dengan kata lain, partisipasi guru harus selalu menempatkan pembangunan pemahaman itu adalah tanggung jawab siswa itu sendiri, bukan guru. Misal, bila siswa bertanya tentang sesuatu, maka pertanyaan itu harus selalu dikembalikan dulu kepada siswa itu atau siswa lain, sebelum guru memberikan bantuan untuk menjawabnya. Seorang siswa bertanya, “Pak/Bu, apakah tumbuhan punya perasaan?” Guru yang baik akan mengajukan balik pertanyaan itu kepada siswa lain sampai tidak ada seorang pun siswa dapat menjawabnya. Guru kemudian berkata, “Saya sendiri tidak tahu, tetapi bagaimana jika kita melakukan percobaan?”. 
Banyak opini-opini yang diberikan para ahli tentang belajar. Misalnya Cronbach, beliau mendefinisikan bahwa “learning is shown by a change in behavior as a result of ecperience” yaitu Belajar ditunjukkan oleh suatu perubahan dalam perilaku individu sebagai hasil pengalamannya. Pendapat lain tentan gbelajar dikemukakan oleh Gage (1984), mengartikan belajar sebagai suatu proses di mana organisma berubah perilakunya. Harold Spears mengatakan bahwa “learning is to observe, to read, to imitate, to try something themselves, to listen, to follow direction” yaitu belajar adalah untuk mengamati, membaca, meniru, mencoba sendiri sesuatu, mendengarkan, mengikuti arahan. Adapun Geoch, menegaskan bahwa “learning is a change in performance as result of practice” yaitu belajar adalah suatu perubahan di dalam unjuk kerja sebagai hasil praktik.
Kemudian Ratna Willis Dahar (1988: 25-26) juga memaparkan pendapatnya yaitu, “belajar didefinisikan sebagai perubahan perilaku yang diakibatkan oleh pengalaman”. Menurutnya ada lima macam perilaku perubahan pengalaman dan dianggap sebagai faktor-faktor penyebab dasar dalam belajar, antara lain sebagai berikut :
1.    Pertama, pada tingkat emosional yang paling primitif, terjadi perubahan perilaku diakibatkan dari perpasangan suatu stimulus tak terkondisi dengan suatu stimulus terkondisi. Sebagai suatu fungsi pengalaman, stimulus terkondisi itu pada suatu waktu memeroleh kemampuan untuk mengeluarkan respons terkondisi. Bentuk semacam ini disebut responden, dan menolong kita untuk memahami bagaimana para siswa menyenangi atau tidak menyenangi sekolah atau bidang-bidang studi.
2.      Kedua, belajar kontiguitas, yaitu bagaimana dua peristiwa dipasangkan satu dengan yang lain pada suatu waktu, dan hal ini banyak kali kita alami. Kita melihat bagaimana asosiasi ini dapat menyebabkan belajar dari ‘drill’ dan belajar stereotipe-stereotipe.
3.      Ketiga, kita belajar bahwa konsekuensi-konsekuensi perilaku memengaruhi apakah perilaku itu akan diulangi atau tidak, dan berapa besar pengulangan itu. Belajar semacam ini disebut belajar operant.
4.    Keempat, pengalaman belajar sebagai hasil observasi manusia dan kejadian-kejadian. Kita belajar dari model-model dan masing-masing kita mungkin menjadi suatu model bagi orang lain dalam belajar observasional.
5.    Kelima, belajar kognitif terjadi dalam kepala kita, bila kita melihat dan memahami peristiwa-peristiwa di sekitar kita, dan dengan insight, belajar menyelami pengertian.
Jadi, berdasarkan deskripsi di atas, ‘belajar’ dapat dirumuskan sebagai proses siswa membangun gagasan/pemahaman sendiri untuk berbuat, berpikir, berinteraksi sendiri secara lancar dan termotivasi tanpa hambatan guru; baik melalui pengalaman mental, pengalaman fisik, maupun pengalaman sosial.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Belajar

       1.    Internal

Merupakan faktor yagn berasala dari individu yang meliputi faktor:
a. Fisiologis, meliputi kondisi jasmani, fungsi alat indera, saraf sentral, dan sebagainya.
b. Psikologis, meliputi minat, motivasi, emosi, intelegensi, bakat, dsb

2.   Eksternal
Merupakan faktor dari luar individu, meliputi faktor:
a. Sosial/lingkungan
                Yaitu pola asuh keluarga, dukungan dari lingkungan sekitar individu, kehadiran seseorang               secara langsung ataupun representasinya (kehadiran hanya dalam pikiran). Misalnya bila                 teringat orang tua maka motivasi untuk menyelesaikan skripsi akan meningkat.
            b. Instrumental
               Meliputi alat perlengkapan belajar, ruang belajar, ventilasi, penerangan , cuaca, materi uang            diberikan, peraturan-peraturan yang mengikat dalam proses belajar (misalnya norma                      masyarakat, aturan dalam sekolah, sistem pendidikan)

Faktor yang positif akan mendukung hasil belajar yag positif. Sebaliknya faktor negatif akan menyebabkan hasil belajar yang buruk pula.

Untuk dapat mengetahui hasil belajrnya, perlu dilakukan evaluasi dengan memberikan umpan balik (feedback). Apabila hasil belajar tidak sesuai dengan harapan, maka kita dapat melakukan perubahan atau oeningkatan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar. Apabila sudah sesuai dengan yagn diharapkan, kia mempertahankan peoses belajar yagn dilakukan.

  Teori-Teori Belajar        

Terdapat beberapa macam teori belajar yang telah dikemukakan berdasarkan percobaan yang tela dilakukan. Beberapa teori belajar tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:
1.    Teori belajar yang Berorientasi pada Behaviorisme
a.       Teori belajar Asosiatif
Teori ini disimpulkan dari hasil percobaan Pavlov yang menggunakan anjing sebagai percobaan. Awalnya, anjing tidak mengeluarkan air liur ketika bel berbunyi. Lalu, secara terus menerus ketika makanan diberikan ketika bel berbunyi. Ketika makanan tidak diberikan namun bel dibunyikan, anjing tersebut tetap mengeluarkan air liur.

Inti dari pengkondisian klasik adalah memasangkan dua stimulus. Stimulus pertama disebut unconditioned stimulus (US) yaitu stimulus yang menimbulkan respon secara alami. Kemudian ada yang disebut dengan Conditioned Stimulus (CS) yaitu stimulus yang dapat menimbulkan respon khusus. Respon yang sifatnya alami adalah Unconditioned Response dan respon yang dihasilkan oleh Conditioned Stimulus atau dengan kata lain respon bersyarat disebut Conditioned Response (CR).

Dalam percobaannya, Pavlov menggunakan anjing sebagai objek nya. Sebelum percobaan dilakukan, sedikit dilakukan operasi terhadap anjing tersebut agar air liur yang keluar dapat diperhatikan. Anjing secara alami akan mengeluarkan air liur ketika ia melihat makanan. Kemudian, bel dibunyikan bersamaan dengan dikeluarkannya makanan. Hal ini dilakukan berkali-kali dan anjing itu akan mengeluarkan air liur. Ketika bel dibunyikan tanpa makanan, anjing tetap akan mengeluarkan air liur.

Pavlov menyebut respon anjing tersebut sebagai respon yang dikondisikan (CR). Anjing telah diajarkan untuk mengeluarkan air liur ketika bel dibunyikan. Secara alami ia akana mengeluarkan air liur ketika ada makanan (UR). Makanan, dalam percobaan ini, merupakan Unconditioned Stimulus (US) dan bel yang berbunyi sebagai Conditioned Response (CR). Apabila repon bersyarat (CR) telah terbentuk dan stimulus bersyaratnya (CS) tidak dipasangkan dengan stimulus tidak bersyarat (US) maka respon bersyarat akan melemah atau bahkan menghilang (extinction).

Peristiwa ini disebut sebagai conditioning atau pengkondisian, yaitu pemberian stimulus berbentuk makanan bersamaan dengan bunyi bel. Ini berarti terjadi asosiasi antara stimulus dengan responnya. Pavlov menyimpulkan bahwa perilaku dapat dibentuk melalui kebiasaan.

Dalam kehidupan sehari-hari teori ini dapat diaplikasikan misalnya pada anak agar ia membiasakan diri mencuci tangan sebelum makan.

b.      Teori Belajar Fungsionalistik
Teori ini disimpulkan berdasarkan percobaan yang dilakukan oleh B.F. Skinner. Faktor utama dalam Operant Conditioning/Instrumental Conditioning adalah “reinforcement”, yaitu stimulus atau situasi yang dapat menguatkan respons yang muncul. Inti dari Operant Conditioning terletak pada penggunaan perilaku organisme sebagai “alat” atau instrumen untuk mengubah lingkungan sehingga menghambat perilaku yang diinginkan dan memperlancar perilaku yang diinginkan.

Dalam percobaan yang dilakukannya, Skinner memiliki dua istilah yaitu Perilaku Respon dan Operan. Perilaku Respon adalah respon langsung pada stimulus.Perilaku  Operan adalah perilaku yang dikendalikan sebagai akibat dari perilaku respon. Reinforcment berfungsi untuk menguatkan perilaku operan yang diinginkan.jadi, proses belajar Operant Conditioning adalah proses pengontrolan tingkah laku melalui pemberian reinforcement yang bijaksana dalam lingkungan yang relatif bebas.

Percobaan yang dilakukan Skinner adalah dengan memasukkan tikus ke dalam “Kotak Skinner”. Di dalam kotak tersebut tidak terdapat apa-apa kecuali sebuah pengungkit. Di bawahnya terdapat piring makanan. Sebuah lampu kecil di atas jeruji dapat dinyalakan sesuai keinginan eksperimenter. Tikus dibiarkan sendirian dalam kotak. Tikus tersebut lalu menjelajahi kotak tersebut terkadang melewati pengungkit. Setiap kali tikus menekan pengungkit, maka makanan akan keluar dan tikus bisa memakannya. Makanan berfungsi sebagai reinforcement. Proses diskriminasi juga bisa dilakukan. Caranya adalah memasangkan pengungkit dengan lampu, sehingga makanan akan keluar apabila  lampu menyala dan pengungkit kemudian ditekan. Dengan demikian terbentuk penguatan selektif yan gmengondisikan tikus bahwa agar makanan keluar, pengnungkit harus ditekan dengan lampu yang menyala.

Dalam operant conditioning ada yang disebut dengan reinforcer atau reinforcement. Reinforcement adalah situasi atau stimulus yang dapat menguatkan respons yang muncul. Reinforcment dapat dibedakan atas:
·         Primary Reinforcer adalah reinforcement paling efektif bagi subjek yang belum terlatih, artinya tidak dibutuhkan suatu latihan awal untuk memperkuat suatu respon.
·         Secondary reinforcement adalah reinforcement yang tidak dapt berfungsi sebagai penguat alami. Agar reinforcment tersebut efektif, diperlukan pengalaman dulu. Maka dari itu, reinforcement ini disebut learned reinforcment (penguat yang dipelajari).

Dalam percobaan Skinner, makanan adalah primary reinforcer dan lampu sebagai secondary reinforcement.

Selain reinforcement, terdapat teknik lain dalam operant conditioning diantaranya:
·    Reinforcement positif adalah stimulus yang mengikuti suatu respon yang akan meningkatkan kecenderungan pengulangan suatu respon.
· Reinforcement negatif adalah penghilangan stimulus yang tidak meyenangkan yang mengikuti suatu respon sehingga ada kecenderungan perilaku tersebut muncul kembali. Kata negatif menunjukkan respon yang muncul menyebabkan hilangnya suatu peristiwa atau kondisi yang tidak menyenangkan.
·  Punishment (hukuman) adalah stimulus yang bila dihadirka bersamaan dengan munculnnya suatu repson akan mengurangi dan bahkan menghilangkan suatu respon.
·      Omission of reinforcement atau omission training yaitu penarikan kembali reinforcement positif saat respon dilakukan dengan tujuan mengurangi atau menghilangkan reonforcement posotif. Contohnya adalah orang tua mematikan televisi agar anaknya belajar.

2.   Teori Belajar yang Berorientasi pada Kognitif
a.       Trial and Error
Thorndike melakukan percobaan terhadap kucing yang dimasukkan ke dalam sebuah kotak. Di dalam sebuah kotak tersebut terdapat pintu yang akan terbuka bila pengungkit dalam kotak tersebut disentuh. Di luar kotak diletakkan makanan. Oleh karena itu, kucing yang lapar baru dapat makanan bila ia menyentuh pengungkit dan keluar dari kotak.

Berdasarkan hasil percobaan tersebut, Thorndike menyimpulkan beberapa hukum dalam belajar, sebagai berikut:
·         The Law of Readiness (Hukum Kesiapan)
Jika suatu organisme didukung kesiapan kuat  untuk mendapat stimulus maka tingkah laku akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung dipekuat.
·         The Law of Exercise (Hukum Latihan)
Semakin sering tingkah laku di ulang,  maka  asosiasi tersebut semakin kuat.          
·         The Law of Effect (Hukum Akibat)
Hubungan stimulus respon cenderung   diperkuat bila  akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah bila akibatnya tidak  memuaskan. Hukum ini terdiri dari tiga hukum utama, yaitu:
o   Apabila individu sudah siap melakukan sesuatu dan diberi kesempatan untuk melakukannya maka akan timbul kepuasan.
o   Apabila individu sudah siap melakukan sesuatu tetapi tidak diberi kesempatan untuk mealkukannya, maka akan timbl kekecawaan/ketidak puasan dan mendorong individu melakukan aktivitas tertentu sebagai pelampiasan.
o   Apabila individu belum siap melakukan sesuatu tetapi dipaksa melakukan, maka akan timbul perasaan tidak puas dan mendorong individu untuk melakukan tindakan tertentu sebagai pelampiasan rasa ketidakpuasannya.

Selain tiga hukum primer di atas, Thorndike juga mengemukakan lima Hukum Sekunder, yaitu:
·         Law of Multiple Response (Hukum Reaksi Berganda)
Artinya dalam menghadapi stimulus baru, akan dipakai berbagai macam respons sampai diperoleh respons yang tepat.
·         Partial Activity
Kemampuan mengadakan reaksi secara selektif terhadap situasi yang dihadapi.
·         Attitude
Attitude yaitu arah dan bentuk belajar yang kita lakukan dipengaruhi oleh sikap kita.
·         Reaction by Analogy
Untuk mengjadapi situasi baru, individu cenderung melakukan reaksi yang pernah dilakukannya terhadap situasi yang mirip atau sama yang pernah dilakukannya.
Hukum ini dilpakai untuk meyusun hukum mengenai ttransfer dalam belajar yaitu “Theory of Identical Element”. Teori ini menyatakan bahwa bila terdapat elemen yang identik dengan situasi yang dihadapi, semakin besar kemiripan, semakin besar kemungkinan terjadi transfer.
·         The Law of Associative Sheffting
Hukum ini intinya sama dengan pengkondidian (berdasarkan belajar asosiatif).

b.      Insight Learning
Wolfgang Kohler menggunakan simpanse dalam eksperimennya. Pada percobaan pertama, Kohler membuat sebuah sangkar yang didalamnya telah disediakan sebuah tongkat. Simpanse kemudian dimasukkan dalam sangkar tersebut, dan di atas sangkar diberi buah pisang. Melihat buah pisang yang tergantung tersebut, Simpanse berusaha untuk mengambilnya namun selalu gagal. Simpanse mengalami sebuah masalah atau problem yaitu bagaimana cara ia mengambil buah pisang tersebut. Karena didekatnya ada sebuah tongkat maka timbullah pengertian bahwa untuk meraih sebuah pisang harus menggunakan tongkat tersebut.

Pada eksperimen yang kedua masalah yang dihadapi oleh Simpanse masih sama yaitu bagaimana cara mengambil buah pisang. Namun di dalam sangkar tersebut diberi dua tongkat. Simpanse mengambil pisang dengan satu tongkat, namun selalu mengalami kegagalan karena buah pisang diletakkan semakin jauh di atas sangkar. Tiba-tiba muncul insight (pemahaman) dalam diri Simpanse untuk menyambung kedua tongkat tersebut. Dengan kedua tongkat yang disambung itu, Simpanse menggunakannya untuk mengambil buah pisang yang berada di luar sangkar. Ternyata usaha yang dilakukan oleh Simpanse ini berhasil.

Dalam eksperimen yang ketiga Wolfgang Kohler masih menggunakan sangkar, Simpanse, dan buah pisang. Namun dalam eksperimen ini di dalam sangkar diberi sebuah kotak yang kuat untuk bisa dinaiki oleh Simpanse. Pada awalnya Simpanse berusaha meraih pisang yang digantung di atas sangkar, tetapi ia selalu gagal. Kemudian Simpanse melihat sebuah kotak yang ada di dalam sangkar tersebut, maka timbullah insight (pemahaman) dalam diri Simpanse yakni mengambil kotak tersebut untuk ditaruh tepat dibwah pisang. Selanjutnya, Simpanse menaiki kotak dan akhirnya ia dapat meraih pisang tersebut.

Eksperimen yang keempat masih sama dengan eksperimen yang ketiga, yaitu buah pisang yang diletakkan di atas sangkar dengan cara agak ditinggikan, sementara di dalam sangkar diberi dua buah kotak. Semula Simpanse hanya menggunakan kotak satu untuk meraih pisang, tetapi gagal. Simpanse melihat ada satu kotak lagi di dalam sangkar dan ia menghubungkan kotak tersebut dengan pisang dan kotak yang satunya lagi. Dengan pemahaman tersebut, Simpanse menyusun kotak-kotak itu dan ia berdiri di atas susunan kotak-kotak dan akhirnya dapat meraih pisang di atas sangkar dengan tangannya.

Beberapa kesimpulan yang bisa diambil dari percobaan Kohler terhadap simpanse adalah sebagai berikut:
·         Insight learning bergantung pada kemampuan dasar. Kemampuan dasar tergantung pada umur, keanggotaan dalam spesies, dan perbedaan individu dalam spesies.
·         Terbentuknya “insight” dipengaruhi pengalaman masa lampau yang relevan.
·         Pembentukan “insight” diidahului proses trial and error.
·         Pemecahan problem dengan “insight” dapat diulangi dengan mudah karena sudah terbentuk pemahaman dalam diri organisme.
·         Insight” yang sudah diperoleh dapat digunakan untuk menghadapi situasi lain.



Riyanti, B.P. Dwi, dkk. 1996. Seri Diktat Kuliah. Psikologi Umum I, [pdf]. Jakarta: Gunadarma.
Basuki, A.M. Heru. 2008. Seri Diktat Kuliah. Psikologi Umum. Jakarta: Gunadarma

 





0 komentar:

Posting Komentar

Next Prev
▲Top▲