BELAJAR
Belajar merupakan salah satu proses yang dilakukan manusia
sepanjang hidupnya. Belajar adalah usaha yang dilakukan dengan sengaja yang
dapat menimbulkan tingkah laku, baik yang nyata maupun tidak tampak. Perubahan
yang dihasilkan tersebut bersifat positif dan berlaku dalam waktu yang relatif
lama.
Proses yang terjadi pada seseorang megakibatkan perubahan
perilaku baik dari segi kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Perubahan
perilaku bisa aktual, bisa pula potensial. Potensial berarti perubahannya belum
tampak secara nyata, namun akan nampak di waktu lain.
Ada beberapa faktor yang mendukung proses pembelajaran pada
seseorang yaitu faktor inter dan eksternal. Dimana faktor ini berfungsi sebagai
peninjauan hasil belajar seseorang. Faktor-faktor yang positif akan mendukung
hasil belajar yang positif juga. Sebaliknya faktor negatif, akan menyebabkan
hasil belajar yang buruk pula.
Belajar adalah usaha yang dilakukan dengan sengaja yang
dapat menimbulkan tingkah laku, baik yang nyata maupun tidak tampak. Perubahan
yang dihasilkan tersebut bersifat positif dan berlaku dalam waktu yang relatif
lama.
Belajar merupakan suatu proses yang megakibatkan perubahan
perilaku baik dari segi kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Perubahan
perilaku bisa aktual, bisa pula potensial. Potensial berarti perubahannya belum
tampak secara nyata, namun akan nampak di waktu lain.
Belajar merupakan
salah satu proses yang dilakukan manusia sepanjang hidupnya. Dimana belajar ini
merupakan proses membangun makna atau pemahaman terhadap informasi dan atau
pengalaman. Proses membangun makna tersebut dapat dilakukan sendiri oleh siswa
atau bersama orang lain. Selama proses itu berlangsung semua informasi yang
masuk disaring dengan persepsi, pikiran (pengetahuan awal), dan perasaan seseorang.
Hal ini dapat dibuktikan, yakni hasil ulangan para siswa berbeda-beda padahal mendapat
pengajaran yang sama, dari guru yang sama, dan pada saat yang sama. Mengingat
belajar adalah kegiatan aktif siswa, yaitu membangun pemahaman, maka
partisipasi guru jangan sampai merebut otoritas aau hak siswa dalam membangun
gagasannya.
Dengan kata lain,
partisipasi guru harus selalu menempatkan pembangunan pemahaman itu adalah
tanggung jawab siswa itu sendiri, bukan guru. Misal, bila siswa bertanya
tentang sesuatu, maka pertanyaan itu harus selalu dikembalikan dulu kepada
siswa itu atau siswa lain, sebelum guru memberikan bantuan untuk menjawabnya.
Seorang siswa bertanya, “Pak/Bu, apakah tumbuhan punya perasaan?” Guru yang
baik akan mengajukan balik pertanyaan itu kepada siswa lain sampai tidak ada
seorang pun siswa dapat menjawabnya. Guru kemudian berkata, “Saya sendiri tidak
tahu, tetapi bagaimana jika kita melakukan percobaan?”.
Banyak opini-opini yang diberikan para ahli tentang belajar.
Misalnya Cronbach, beliau
mendefinisikan bahwa “learning is shown by a change in behavior as a result of
ecperience” yaitu Belajar ditunjukkan oleh suatu perubahan dalam perilaku
individu sebagai hasil pengalamannya. Pendapat lain tentan gbelajar dikemukakan
oleh Gage (1984), mengartikan
belajar sebagai suatu proses di mana organisma berubah perilakunya. Harold Spears mengatakan bahwa “learning
is to observe, to read, to imitate, to try something themselves, to listen, to
follow direction” yaitu belajar adalah untuk mengamati, membaca, meniru,
mencoba sendiri sesuatu, mendengarkan, mengikuti arahan. Adapun Geoch, menegaskan bahwa “learning is a
change in performance as result of practice” yaitu belajar adalah suatu
perubahan di dalam unjuk kerja sebagai hasil praktik.
Kemudian Ratna Willis Dahar (1988: 25-26) juga
memaparkan pendapatnya yaitu, “belajar didefinisikan sebagai perubahan perilaku
yang diakibatkan oleh pengalaman”. Menurutnya ada lima macam perilaku perubahan
pengalaman dan dianggap sebagai faktor-faktor penyebab dasar dalam belajar,
antara lain sebagai berikut :
1. Pertama, pada tingkat emosional yang paling
primitif, terjadi perubahan perilaku diakibatkan dari perpasangan suatu
stimulus tak terkondisi dengan suatu stimulus terkondisi. Sebagai suatu fungsi pengalaman,
stimulus terkondisi itu pada suatu waktu memeroleh kemampuan untuk mengeluarkan
respons terkondisi. Bentuk semacam ini disebut responden, dan menolong kita
untuk memahami bagaimana para siswa menyenangi atau tidak menyenangi sekolah
atau bidang-bidang studi.
2. Kedua, belajar kontiguitas, yaitu bagaimana
dua peristiwa dipasangkan satu dengan yang lain pada suatu waktu, dan hal ini
banyak kali kita alami. Kita melihat bagaimana asosiasi ini dapat menyebabkan
belajar dari ‘drill’ dan belajar stereotipe-stereotipe.
3. Ketiga, kita belajar bahwa
konsekuensi-konsekuensi perilaku memengaruhi apakah perilaku itu akan diulangi
atau tidak, dan berapa besar pengulangan itu. Belajar semacam ini disebut
belajar operant.
4. Keempat, pengalaman belajar sebagai hasil
observasi manusia dan kejadian-kejadian. Kita belajar dari model-model dan
masing-masing kita mungkin menjadi suatu model bagi orang lain dalam belajar
observasional.
5. Kelima, belajar kognitif terjadi dalam kepala
kita, bila kita melihat dan memahami peristiwa-peristiwa di sekitar kita, dan
dengan insight, belajar menyelami pengertian.
Jadi, berdasarkan
deskripsi di atas, ‘belajar’ dapat dirumuskan sebagai proses siswa membangun
gagasan/pemahaman sendiri untuk berbuat, berpikir, berinteraksi sendiri secara
lancar dan termotivasi tanpa hambatan guru; baik melalui pengalaman mental,
pengalaman fisik, maupun pengalaman sosial.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Belajar
1. Internal
Merupakan faktor yagn berasala dari individu yang meliputi
faktor:
a. Fisiologis, meliputi kondisi jasmani,
fungsi alat indera, saraf sentral, dan sebagainya.
b. Psikologis, meliputi minat, motivasi,
emosi, intelegensi, bakat, dsb
2. Eksternal
Merupakan faktor dari luar individu, meliputi faktor:
a. Sosial/lingkungan
Yaitu pola asuh keluarga, dukungan dari
lingkungan sekitar individu, kehadiran seseorang secara langsung ataupun
representasinya (kehadiran hanya dalam pikiran). Misalnya bila teringat orang
tua maka motivasi untuk menyelesaikan skripsi akan meningkat.
b. Instrumental
Meliputi alat perlengkapan belajar,
ruang belajar, ventilasi, penerangan , cuaca, materi uang diberikan,
peraturan-peraturan yang mengikat dalam proses belajar (misalnya norma masyarakat, aturan dalam sekolah, sistem pendidikan)
Faktor yang positif akan mendukung hasil belajar yag
positif. Sebaliknya faktor negatif akan menyebabkan hasil belajar yang buruk
pula.
Untuk dapat mengetahui hasil belajrnya, perlu dilakukan
evaluasi dengan memberikan umpan balik (feedback).
Apabila hasil belajar tidak sesuai dengan harapan, maka kita dapat melakukan
perubahan atau oeningkatan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi proses
belajar. Apabila sudah sesuai dengan yagn diharapkan, kia mempertahankan peoses
belajar yagn dilakukan.
Teori-Teori Belajar
Terdapat beberapa macam teori belajar
yang telah dikemukakan berdasarkan percobaan yang tela dilakukan. Beberapa
teori belajar tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
Teori belajar yang Berorientasi pada
Behaviorisme
a. Teori
belajar Asosiatif
Teori ini disimpulkan
dari hasil percobaan Pavlov yang
menggunakan anjing sebagai percobaan. Awalnya, anjing tidak mengeluarkan air
liur ketika bel berbunyi. Lalu, secara terus menerus ketika makanan diberikan
ketika bel berbunyi. Ketika makanan tidak diberikan namun bel dibunyikan,
anjing tersebut tetap mengeluarkan air liur.
Inti dari
pengkondisian klasik adalah memasangkan dua stimulus. Stimulus pertama disebut unconditioned stimulus (US) yaitu
stimulus yang menimbulkan respon secara alami. Kemudian ada yang disebut dengan
Conditioned Stimulus (CS) yaitu
stimulus yang dapat menimbulkan respon khusus. Respon yang sifatnya alami
adalah Unconditioned Response dan
respon yang dihasilkan oleh Conditioned
Stimulus atau dengan kata lain respon bersyarat disebut Conditioned Response (CR).
Dalam percobaannya,
Pavlov menggunakan anjing sebagai objek nya. Sebelum percobaan dilakukan,
sedikit dilakukan operasi terhadap anjing tersebut agar air liur yang keluar
dapat diperhatikan. Anjing secara alami akan mengeluarkan air liur ketika ia
melihat makanan. Kemudian, bel dibunyikan bersamaan dengan dikeluarkannya
makanan. Hal ini dilakukan berkali-kali dan anjing itu akan mengeluarkan air
liur. Ketika bel dibunyikan tanpa makanan, anjing tetap akan mengeluarkan air
liur.
Pavlov menyebut
respon anjing tersebut sebagai respon yang dikondisikan (CR). Anjing telah
diajarkan untuk mengeluarkan air liur ketika bel dibunyikan. Secara alami ia
akana mengeluarkan air liur ketika ada makanan (UR). Makanan, dalam percobaan
ini, merupakan Unconditioned Stimulus (US) dan bel yang berbunyi sebagai Conditioned Response (CR). Apabila repon
bersyarat (CR) telah terbentuk dan stimulus bersyaratnya (CS) tidak dipasangkan
dengan stimulus tidak bersyarat (US) maka respon bersyarat akan melemah atau
bahkan menghilang (extinction).
Peristiwa ini disebut
sebagai conditioning atau
pengkondisian, yaitu pemberian stimulus berbentuk makanan bersamaan dengan
bunyi bel. Ini berarti terjadi asosiasi antara stimulus dengan responnya.
Pavlov menyimpulkan bahwa perilaku dapat dibentuk melalui kebiasaan.
Dalam kehidupan
sehari-hari teori ini dapat diaplikasikan misalnya pada anak agar ia membiasakan
diri mencuci tangan sebelum makan.
b. Teori
Belajar Fungsionalistik
Teori ini disimpulkan
berdasarkan percobaan yang dilakukan oleh B.F. Skinner. Faktor utama dalam Operant Conditioning/Instrumental
Conditioning adalah “reinforcement”,
yaitu stimulus atau situasi yang dapat menguatkan respons yang muncul. Inti
dari Operant Conditioning terletak
pada penggunaan perilaku organisme sebagai “alat” atau instrumen untuk mengubah
lingkungan sehingga menghambat perilaku yang diinginkan dan memperlancar
perilaku yang diinginkan.
Dalam percobaan yang
dilakukannya, Skinner memiliki dua istilah yaitu Perilaku Respon dan Operan.
Perilaku Respon adalah respon langsung pada stimulus.Perilaku Operan adalah perilaku yang dikendalikan
sebagai akibat dari perilaku respon. Reinforcment
berfungsi untuk menguatkan perilaku operan yang diinginkan.jadi, proses belajar
Operant Conditioning adalah proses
pengontrolan tingkah laku melalui pemberian reinforcement yang bijaksana dalam
lingkungan yang relatif bebas.
Percobaan yang
dilakukan Skinner adalah dengan memasukkan tikus ke dalam “Kotak Skinner”. Di
dalam kotak tersebut tidak terdapat apa-apa kecuali sebuah pengungkit. Di
bawahnya terdapat piring makanan. Sebuah lampu kecil di atas jeruji dapat
dinyalakan sesuai keinginan eksperimenter. Tikus dibiarkan sendirian dalam
kotak. Tikus tersebut lalu menjelajahi kotak tersebut terkadang melewati
pengungkit. Setiap kali tikus menekan pengungkit, maka makanan akan keluar dan
tikus bisa memakannya. Makanan berfungsi sebagai reinforcement. Proses diskriminasi juga bisa dilakukan. Caranya
adalah memasangkan pengungkit dengan lampu, sehingga makanan akan keluar
apabila lampu menyala dan pengungkit
kemudian ditekan. Dengan demikian terbentuk penguatan selektif yan
gmengondisikan tikus bahwa agar makanan keluar, pengnungkit harus ditekan
dengan lampu yang menyala.
Dalam operant conditioning ada yang disebut
dengan reinforcer atau reinforcement. Reinforcement adalah
situasi atau stimulus yang dapat menguatkan respons yang muncul. Reinforcment
dapat dibedakan atas:
·
Primary
Reinforcer adalah
reinforcement paling efektif bagi subjek yang belum terlatih, artinya tidak
dibutuhkan suatu latihan awal untuk memperkuat suatu respon.
·
Secondary
reinforcement adalah
reinforcement yang tidak dapt berfungsi sebagai penguat alami. Agar
reinforcment tersebut efektif, diperlukan pengalaman dulu. Maka dari itu,
reinforcement ini disebut learned reinforcment (penguat yang dipelajari).
Dalam percobaan
Skinner, makanan adalah primary
reinforcer dan lampu sebagai secondary
reinforcement.
Selain reinforcement, terdapat teknik lain
dalam operant conditioning diantaranya:
· Reinforcement positif adalah stimulus yang mengikuti suatu
respon yang akan meningkatkan kecenderungan pengulangan suatu respon.
· Reinforcement negatif adalah penghilangan stimulus yang
tidak meyenangkan yang mengikuti suatu respon sehingga ada kecenderungan
perilaku tersebut muncul kembali. Kata negatif menunjukkan respon yang muncul
menyebabkan hilangnya suatu peristiwa atau kondisi yang tidak menyenangkan.
· Punishment
(hukuman) adalah stimulus yang
bila dihadirka bersamaan dengan munculnnya suatu repson akan mengurangi dan bahkan
menghilangkan suatu respon.
· Omission
of reinforcement atau omission training
yaitu penarikan kembali reinforcement positif saat respon dilakukan dengan
tujuan mengurangi atau menghilangkan reonforcement posotif. Contohnya adalah
orang tua mematikan televisi agar anaknya belajar.
2.
Teori
Belajar yang Berorientasi pada Kognitif
a.
Trial
and Error
Thorndike melakukan
percobaan terhadap kucing yang dimasukkan ke dalam sebuah kotak. Di dalam
sebuah kotak tersebut terdapat pintu yang akan terbuka bila pengungkit dalam
kotak tersebut disentuh. Di luar kotak diletakkan makanan. Oleh karena itu,
kucing yang lapar baru dapat makanan bila ia menyentuh pengungkit dan keluar
dari kotak.
Berdasarkan hasil
percobaan tersebut, Thorndike menyimpulkan beberapa hukum dalam belajar,
sebagai berikut:
·
The Law of Readiness (Hukum Kesiapan)
Jika suatu organisme didukung kesiapan kuat untuk mendapat
stimulus maka tingkah laku akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi
cenderung dipekuat.
·
The Law of Exercise (Hukum Latihan)
Semakin sering tingkah laku di ulang, maka asosiasi
tersebut semakin
kuat.
·
The Law of Effect (Hukum Akibat)
Hubungan stimulus respon cenderung diperkuat
bila akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah bila akibatnya
tidak memuaskan. Hukum ini terdiri dari tiga hukum utama, yaitu:
o
Apabila individu sudah siap
melakukan sesuatu dan diberi kesempatan untuk melakukannya maka akan timbul
kepuasan.
o
Apabila individu sudah siap
melakukan sesuatu tetapi tidak diberi kesempatan untuk mealkukannya, maka akan
timbl kekecawaan/ketidak puasan dan mendorong individu melakukan aktivitas
tertentu sebagai pelampiasan.
o
Apabila individu belum siap
melakukan sesuatu tetapi dipaksa melakukan, maka akan timbul perasaan tidak
puas dan mendorong individu untuk melakukan tindakan tertentu sebagai
pelampiasan rasa ketidakpuasannya.
Selain tiga hukum primer di atas, Thorndike juga mengemukakan lima
Hukum Sekunder, yaitu:
·
Law of Multiple Response (Hukum Reaksi Berganda)
Artinya dalam menghadapi stimulus baru, akan dipakai berbagai
macam respons sampai diperoleh respons yang tepat.
·
Partial Activity
Kemampuan mengadakan reaksi secara selektif terhadap situasi yang
dihadapi.
·
Attitude
Attitude yaitu arah dan bentuk belajar yang kita lakukan dipengaruhi oleh
sikap kita.
·
Reaction by Analogy
Untuk mengjadapi situasi baru, individu cenderung melakukan reaksi
yang pernah dilakukannya terhadap situasi yang mirip atau sama yang pernah
dilakukannya.
Hukum ini dilpakai untuk
meyusun hukum mengenai ttransfer dalam belajar yaitu “Theory of Identical Element”. Teori ini menyatakan bahwa bila
terdapat elemen yang identik dengan situasi yang dihadapi, semakin besar
kemiripan, semakin besar kemungkinan terjadi transfer.
·
The Law of Associative Sheffting
Hukum ini intinya sama dengan pengkondidian (berdasarkan belajar
asosiatif).
b. Insight Learning
Wolfgang
Kohler menggunakan simpanse dalam eksperimennya. Pada percobaan pertama, Kohler
membuat sebuah sangkar yang didalamnya telah disediakan sebuah tongkat.
Simpanse kemudian dimasukkan dalam sangkar tersebut, dan di atas sangkar diberi
buah pisang. Melihat buah pisang yang tergantung tersebut, Simpanse berusaha
untuk mengambilnya namun selalu gagal. Simpanse mengalami sebuah masalah atau problem yaitu bagaimana cara ia
mengambil buah pisang tersebut. Karena didekatnya ada sebuah tongkat maka
timbullah pengertian bahwa untuk meraih sebuah pisang harus menggunakan tongkat
tersebut.
Pada
eksperimen yang kedua masalah yang dihadapi oleh Simpanse masih sama yaitu
bagaimana cara mengambil buah pisang. Namun di dalam sangkar tersebut diberi
dua tongkat. Simpanse mengambil pisang dengan satu tongkat, namun selalu
mengalami kegagalan karena buah pisang diletakkan semakin jauh di atas sangkar.
Tiba-tiba muncul insight (pemahaman)
dalam diri Simpanse untuk menyambung kedua tongkat tersebut. Dengan kedua
tongkat yang disambung itu, Simpanse menggunakannya untuk mengambil buah pisang
yang berada di luar sangkar. Ternyata usaha yang dilakukan oleh Simpanse ini
berhasil.
Dalam
eksperimen yang ketiga Wolfgang Kohler masih menggunakan sangkar, Simpanse, dan
buah pisang. Namun dalam eksperimen ini di dalam sangkar diberi sebuah kotak
yang kuat untuk bisa dinaiki oleh Simpanse. Pada awalnya Simpanse berusaha
meraih pisang yang digantung di atas sangkar, tetapi ia selalu gagal. Kemudian
Simpanse melihat sebuah kotak yang ada di dalam sangkar tersebut, maka
timbullah insight (pemahaman) dalam diri Simpanse yakni mengambil kotak
tersebut untuk ditaruh tepat dibwah pisang. Selanjutnya, Simpanse menaiki kotak
dan akhirnya ia dapat meraih pisang tersebut.
Eksperimen yang keempat masih sama dengan eksperimen yang
ketiga, yaitu buah pisang yang diletakkan di atas sangkar dengan cara agak
ditinggikan, sementara di dalam sangkar diberi dua buah kotak. Semula Simpanse
hanya menggunakan kotak satu untuk meraih pisang, tetapi gagal. Simpanse
melihat ada satu kotak lagi di dalam sangkar dan ia menghubungkan kotak tersebut
dengan pisang dan kotak yang satunya lagi. Dengan pemahaman tersebut, Simpanse
menyusun kotak-kotak itu dan ia berdiri di atas susunan kotak-kotak dan
akhirnya dapat meraih pisang di atas sangkar dengan tangannya.
Beberapa
kesimpulan yang bisa diambil dari percobaan Kohler terhadap simpanse adalah
sebagai berikut:
·
Insight
learning bergantung pada kemampuan dasar. Kemampuan dasar tergantung
pada umur, keanggotaan dalam spesies, dan perbedaan individu dalam spesies.
·
Terbentuknya “insight” dipengaruhi pengalaman masa lampau yang relevan.
·
Pembentukan “insight” diidahului proses trial
and error.
·
Pemecahan problem dengan “insight” dapat diulangi dengan mudah
karena sudah terbentuk pemahaman dalam diri organisme.
·
“Insight”
yang sudah diperoleh dapat digunakan untuk menghadapi situasi lain.
Riyanti,
B.P. Dwi, dkk. 1996. Seri Diktat
Kuliah. Psikologi Umum I, [pdf]. Jakarta: Gunadarma.
Basuki, A.M. Heru. 2008. Seri Diktat Kuliah. Psikologi Umum.
Jakarta: Gunadarma
0 komentar:
Posting Komentar